Luluh Lantak

mesa
4 min readOct 3, 2022

--

Tak pernah terbayangkan sebelumnya oleh lelaki bernama belakang Fahrezi itu ketika dirinya dihadapkan langsung oleh tiga pasang netra anak adam yang duduk bersisian di ruang keluarga rumah ini.

Sang kakak, Dilan, hanya sanggup layangkan tatapan setajam mata elang yang siap menikamnya kapan saja. Ia dibutakan semesta sehingga tak mampu lagi melihat pancaran sinar aura permai milik si sulung yang senantiasa lemahkan sanubari.

Kelam, seram, mencekam. Auranya pucat pasi dirundung benci. Lantas Juan hanya punya opsi untuk pasrahkan diri.

Netranya beralih pada pria yang duduk di sebelah Dilan. Si sulung dari pemilik rumah ini miliki perangai yang cukup mengintimidasi. Ini kali pertamanya jumpa langsung dengan sosok yang ia jadikan dalih atas sikap amoralnya selama ini.

Kemudian maniknya berhenti pada insan terakhir yang duduk di paling kanan. Wajahnya agak merunduk. Netranya terus alihkan pandangan ke sekitar seolah mencari objek yang lebih menarik dibanding harus menatap kecubung netra figur lelaki yang pernah ia cintai sebelumnya itu.

“Siapa yang ngajarin kamu jadi bajingan kecil gini, Ju?” tanya Dilan sekaligus menjadi kalimat pembuka topik.

Si pemilik nama hanya gelengkan kepalanya takut. Betisnya terasa linu seolah tak mampu lagi sangga dirinya untuk senantiasa berdiri. Kedua tangannya turut meremat kain celananya risau. Wajahnya terasa panas sebab susah payah menahan sebulir air mata yang entah sejak kapan terbendung di pelupuknya.

“Jadiin Riki objek bales dendam kamu atas kesalahan Abangnya di masa lalu yang bahkan dia sendiri nggak tau apa-apa soal itu, otak kamu dimana?”

Riki yang mendengar namanya disebut dan dibela oleh pihak seberang langsung telan salivanya lamban. Ia sudah cukup lelah tangisi masalah yang sukses besar buat jam tidurnya jadi kacau tak karuan.

“Emang kamu pikir kamu ini siapa boleh berbuat seenaknya? Udah ngerasa tinggi karena ditaksir banyak orang? Yang kamu sakitin itu bocah lugu yang tulus sayang sama kamu, Ju!” cerca Dilan tak sabaran, emosinya sudah di ujung tanduk.

Khalif tetap bungkam. Ia hanya ingin jadikan bocah tujuh belas tahun itu sebagai tontonan gratis yang dicaci Dilan habis-habisan. Toh, Juan pantas menerima itu, sangat.

“JAWAB KALO PUNYA MULUT!”

Satu tamparan keras yang langsung meninggalkan bekas kemerahan berhasil mendarat bebas di pipinya. Khalif terperanjat bukan main. Ia bangun dari sofa kemudian mendekap Dilan seraya menyeretnya agak jauh dari si bungsu.

“Sadar, Dilan!” gertaknya.

Khalif sama sekali tidak meromantisasi afeksinya saat ini, pria itu sudah hilang kendali, opsi satu-satunya yang mampu ia sanggupi hanya lerai sang empu untuk kembali tenangkan diri.

Riki pejamkan matanya selama insiden tadi; alihkan pandangannya kemana pun guna samarkan interaksi. Tamparannya keras sekali, cukup dengan mendengarnya saja sukses buat Riki sakit hati. Belum lagi saat ia dengar Juan mulai terisak minta maaf pada siapapun yang ada di ruangan ini, katakanlah Riki naif kalau ia tak ingin merengkuh hangat tubuh lelaki itu sambil menghapus air matanya dengan sang ibu jari.

Lantas ia hanya bisa merutuki dirinya dalam hati sebab tak piawai sembunyikan tangis. Tolong beri ia waktu sejenak untuk sekedar lepaskan penat yang telah membebani isi kepalanya belakangan ini.

“Ssst, take your time.” ujar Khalif berbisik di sebelah cuping telinga sang empu seraya berikan belaian syahdu pada surainya ketika Dilan masih mencoba untuk membela Riki sekali lagi.

Hati Dilan terasa bagai disayat belati melihat Riki duduk menyediri dengan penuh keterpurukan; ia seperti melihat pantulan refleksi dirinya beberapa waktu silam ketika resmi akhiri hubungannya dengan pria yang tengah mendekapnya saat ini.

Mengingat kembali alasan Juan melakukan semua itu berdalih guna bayarkan rasa sakit hatinya di masa lalu, namun yang ia perbuat justru tak jauh berbeda dengan Khalif. Dilan bisa melihat sosok Khalif Efendi dalam diri adiknya. Yang terbenam dibenaknya ketika melihat Juan kini hanya benci dan benci.

“Jagain Riki buat gua ya, Lip.” sabdanya terakhir kali sebelum pergi dan dengan sengaja menabrak bahu Juan yang masih tertatih sedu di ambang pintu.

Sekarang hanya menyisakan tiga insan di ruangan ini. Yang paling tua sekilas melirik Juan dan Riki silih berganti, mungkin sudah saatnya ia lekas pergi. Guna beri ruang pada dua remaja patah hati yang butuh akan konversasi.

Derap langkah kaki Juan terasa berat untuk berjalan menghampiri Riki. Eksistensi lelaki itu telah menyita perhatiannya sejak awal ia datang kemari. Juan Fahrezi yang semula junjung ego setinggi langit itu sudi buang harga dirinya dengan duduk bersimpuh di bawah Riki–secara teknis, Juan mengemis maaf darinya.

Riki masih enggan menatap sepasang netra elok yang bisa membuat siapapun jatuh cinta meski dengan sekali tatap. Sederhananya, ia tak mau jatuh lebih dalam lagi.

Juan meraih kedua tangan yang lebih muda untuk digenggam, hangat sekali. Ini kali pertamanya ia bisa menyentuh sekaligus memandangi paras Riki dalam jarak begitu dekat. Tatapan Juan nyalang dihiasi bulir air mata yang satu persatu kembali basahi pipinya. Dengan segenap hati ia sesali rasa bersalahnya meski belum mengeluarkan sepatah kata apapun dari ranumnya.

“Gua minta maaf ya, Ki. Maaf udah bikin semuanya jadi kayak gini. Tapi kalo nggak bisa maafin, gapapa, gua maklum banget kok karena kesalahan gua emang kelewat fatal.” ujarnya seraya menghapus air mata Riki yang nyaris jatuh ke permukaan.

“Simpen air matanya buat sesuatu yang berharga, jangan buat nangisin gua. Sayang.”

Harusnya Juan sadar kalau dirinya adalah sesuatu yang berharga bagi Riki dimana lelaki itu rela sita seluruh waktu belajarnya hanya untuk menangis sepanjang malam.

“Makasih dua bulannya, Ki.” senyumnya terpatri disela tangis.

Genggaman itu dilepas sepihak, Juan segera bangkit untuk pergi dari sana; ia akan beri Riki ruang untuk beristirahat, sebab jatuh cinta padanya sudah cukup melelahkan dan sangat buang-buang waktu.

Padahal, jatuh cinta akan selalu menjadi bagian yang paling istimewa dalam hidup Riki karena ada Juan di dalamnya.

--

--

No responses yet